Jumat, 25 Desember 2009

UKM DI INDONESIA KINI SEMAKIN BERKEMBANG



Usaha kecil seperti mainan, layangan, kompor, hingga kursi yang dihasilkan industri rumahan kian marak dan berkembang. Hal itu tentu ada sebabnya. Pertama, bisa jadi banyak warga ingin menambah penghasilan. Kemudian sebab yang kedua, lantaran pihak perbankan makin ramah terhadap pelaku usaha kecil dan menengah.

Hal tersebut diakui kalangan perbankan. Mereka melihat usaha kecil dan menengah (UKM) yang dinilai berpotensi besar serta menjanjikan. Maklum, pertumbuhan kreditnya mencapai rata-rata 18 persen tiap tahun dengan nilai hingga Rp 100 triliun. Melihat keadaan demikian, bukan tidak mungkin tahun mendatang pertumbuhan kredit usaha kecil dan menengah meningkat hingga 40 persen dengan pembiayaan mencapai Rp 400 triliun.

Kenaikan demikian tidak jadi masalah. Namun yang kerap menjadi hambatan adalah bunga kredit tiap tahunnya yang masih amat tinggi, yaitu 18 persen per tahun. Padahal, bunga deposito saat ini rata-rata hanya tujuh hingga delapan persen. Hal itu tidak menutup kemungkinan bagi bank untuk menurunkan bunga kredit.

Sumber: http://berita.liputan6.com/ekbis/200912/255885/Pihak.Perbankan.Bermurah.Hati.UKM.Kian.Berkembang

NILAI RUPIAH MELEMAH JELANG LIBUR PANJANG


Bulan Desember merupakan bulan yang dinanti-nanti karena adanya libur panjang. Jelang libur panjang, nilai rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat pada perdagangan ditutup melemah tipis. Rupiah terus tertekan hingga ditutup pada level Rp 9.513 per dolar AS. Sementara nilai tukar rupiah terhadap euro menguat 59 poin menjadi Rp 13.553 per satu euro. Rupiah juga menguat terhadap yen. Rupiah naik 0,59 poin pada level Rp 103,56 untuk satu yen.

Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia pada perdagangan terakhir pekan ini ditutup naik tipis. Perdagangan yang sepi terdongkrak sentimen positif bursa Asia. Indeks ditutup naik 7,25 poin atau 0,29 persen menjadi 2.474,88. Indeks Hangseng di bursa Hongkong juga kembali ditutup naik. Harapan investor terhadap membaiknya sektor properti menyebabkan saham sektor tersebut mengalami penguatan. Indeks hangseng ditutup pada level 21.328,74 atau naik 236,70 poin atau 1,12 persen.



Sumber : http://berita.liputan6.com/ekbis/200912/255853/Rupiah.Melemah.Jelang.Libur.Panjang



Kamis, 26 November 2009

Kasus Century Bank

Bank Century merupakan hasil merger tiga bank yakni Bank CIC International, Bank Pikko dan Bank Danpac secara sukarela. Setelah merger, Bank Century tergolong sebagai bank sehat dan fokus, sesuai kriteria dan kualifikasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Bank Century yang kini memiliki total aset Rp 8,1 triliun, per Desember 2004 menunjukkan angka CAR mencapai 15,6 persen, sedangkan non performing loan hanya 2,8 persen, didukung 65 kantor cabang. Namun seiring berjalannya waktu, Bank Century mulai menunjukkan kecurigaan yang kini sedang ramai dibicarakan yaitu 'Kasus Bank Century'.


Puluhan orang yang menamakan diri Forum Nasabah Bank Century dan Advokasi Rakyat mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di kawasan Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Mereka meminta agar KPK mengusut kasus Bank Century serta membongkar ketidakberesan dalam pengembalian dana para nasabah yang saat ini masih terkatung-katung. Pengunjuk rasa juga mendesak agar konspirasi terkait bailoutatau dana talangan terhadap Bank Century diungkap.

Pada November 2008, Bank Century diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena rasio kecukupan modalnya (CAR) minus 3,5 persen. LPS menyuntikkan dana hingga empat kali ke Bank Century hingga jumlahnya mencapai Rp 6,7 triliun. Kasus Bank Century pun mendapat perhatian DPR. Sejauh ini, delapan fraksi dan 138 anggota DPR sepakat mengajukan hak angket skandal Bank Century ke pimpinan DPR dan beberapa fraksi-fraksi DPR.

Menurut Anggota Komisi XI DPR Drajat H Wibowo menilai wajar atas timbulnya kontroversi dan saling lepas tanggung jawab terkait proses penyelematan bank Century. Menurutnya, setiap proses penyelamatan bank pasti menimbulkan kontroversi. Dia menjelaskan sebenarnya BI hanya melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penilaian atas kondisi likuiditas bank Century. Berdasarkan hasil pemeriksaan inilah, BI menilai Bank Century sebagai Bank gagal dan merekomendasikan untuk diselamatkan. Namun, semua keputusan untuk penyelamatan Bank Century dan penyerahan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), merupakan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Keputusan Komite Koordinasi (KK) tanggal 21 November 2008.



Sumber terkait :
www.berita.liputan6.com
www.kompas.com
www.google.co.id

Rabu, 11 November 2009

Pembangunan dan Perekonomian di Indonesia Pada Saat Ini

Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang. Yang dimaksud dengan Negara berkembang ialah sebuah Negara yang memiliki rata-rata pendapatan rendah, infrastruktur yang relative terbelakang dibandingkan dengan Negara maju dan taraf kehidupan di Negara tersebut lebih rendah dibandingkan Negara maju.

Indonesia juga merupakan suatu Negara yang memiliki potensi alam yang tinggi tetapi tidak dengan sumber daya manusia-nya. Terbukti dengan banyaknya tenaga ahli dari luar yang bekerja di Indonesia yang dipercaya untuk mengolah sumber daya alam-nya bahkan ada pula para pengusaha luar negeri yang membeli sumber daya alam yang masih mentah di Indonesia dengan harga relative murah kemudian mereka olah di Negara nya kemudian pengusaha itu menjual kembali dalam bentuk yang lain dan dijual dengan harga yang lebih mahal. Dari pernyataan di atas dapat dibuktikan jika SDM di Indonesia belum memadai.

Perkembangan ekonomi di Indonesia sudah melewati berbagai masalah atau lebih dikenal dengan krisis. Beberapa krisis yang penah terjadi di Indonesia ialah :

1. Krisis Ekonomi 1998

Beberapa penyebab krisi ekonomi ini :

· Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

· Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.

· Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

· Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

(www.google.co.id)

2. Krisis Ekonomi 2008

Pada tahun 2008, kemungkinan krisis ekonomi diusulkan oleh beberapa indikator penting penurunan ekonomi di seluruh dunia. Indikator tersebut adalah tingginya harga minyak dunia, yang menyebabkan krisis pangan dunia (karena ketergantungan produksi makanan terhadap minyak, dan juga penggunaan makanan sebagai alternatif minyak bumi), inflasi tinggi, krisis kredit macet yang menyebabkan bankrutnya beberapa bank besar, meningkatnya pengangguran dan kemungkinan resesi global.

(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

3. Krisis Global 2008

Krisis yang dimulai oleh Amerika yang berdampak pada Negara Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina, Korea Selatan. Beberapa dampak dari krisis ini ialah :

· Nilai tukar di Negara-negara jatuh

· Perusahaan-perusahaan multinasional bangkrut

· Bursa saham jatuh

· Banyaknya investor yang menarik modalnya kembali

Dilihat dari krisis yang dialami oleh Indonesia seharusnya Negara ini harus lebih waspada lagi menghadapi krisis-krisis yang mungkin saja dapat timbul kembali.

Sedangkan pembangunan di Indonesia cukup memperlihatkan kemajuan. Dapat kita lihat dengan sarana dan prasarana yang kini telah ada. Salah satu kemajuan yang ditunjukkan ialah munculnya sarana transportasi TransJakarta. TransJakarta merupakan transportasi yang mulai beroperasi pada 15 Januari 2004 yang bertujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman namun terjangkau bagi warga Jakarta.

Dari contoh diatas dapat saya simpulkan bahwa pembangunan di Indonesia sudah berkembang maju tetapi tidak merata. Seharusnya pemerintah mulai memperhatikan daerah-daerah yang memiliki potensi sama seperti ibu kota agar perkembangan di Indonesia lebih merata.

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm